Mengurai Makna: Pemuda, Remaja, dan Anak Muda di Indonesia
Apakah istilah ‘pemuda’ dan ‘remaja’ hanya sekadar label, ataukah mereka menyimpan sejarah panjang yang membentuk identitas generasi muda kita?
“Pemuda” dan “Remaja” keduanya tidaklah netral, melainkan menyimpan muatan sosio-historis di Indonesia bahkah mungkin sejarah dunia. Pemuda sering dikaitkan dengan konotasi positif, seperti pada Sumpah Pemuda, sebagai bentuk komitmen pemuda pada nasionalisme tanah air.
Anderson (1990: 227) menulis bahwa pemuda revolusioner sebagai fantasi yang dibangun dari konstruksi linguistik. Anderson (1972: iii) mencatat kesadaran pemuda masa itu dibentuk oleh suatu pengalaman kultural dari tradisi lama dengan pengalaman modern tertentu. Muatan ini mengalami pergeseran di zaman pendudukan Jepang (1942–1945) dan periode Revolusi (1945–1949). Pemuda yang intelektual dan berpendidikan Barat-Eropa saat Sumpah Pemuda, berganti dengan pemuda yang semangat revolusioner, berasal dari pedesaan atau kota kecil, dan tidak mengutamakan pendidikan (Frederick, 1997: 229, dalam Yudhistira, 2018: 16).
Dengan maksud mewariskan semangat perjuangan, istilah “pemuda” masih digunakan dalam berbagai agenda politik. Pemuda akhirnya berkembang menjadi sekadar salah satu dari ragam floating signifier (Riyanto, 2018) dalam sosial-politik Indonesia.
Di sisi lain, remaja mengandung konotasinya yang sangat berbeda. Remaja sering dikaitkan dengan penghambaan pada suatu tren sebagai bentuk selera dan aspirasi. “Remaja” adalah konsumen budaya yang sedang mengalami globalisasi dan hidup berbasis konsumerisme. Satu sisi, dengan konsumerisme tersebut orang muda terhubung dengan global, tetapi di sisi lain orang muda justru terpinggirkan karena ciri konsumerisme yang melekat padanya (Naafs dan White, 2012: 99).
Parker dan Nilan (2013: 34) menyebut remaja tidak memiliki kesadaran dan tujuan kolektif yang kuat, berbeda dengan pemuda. Ini juga bisa dilihat sebagai dampak perubahan zaman, karena pemuda digambarkan sebagai generasi muda di masa sebelum kemerdekaan dan awal kemerdekaan, sedangkan remaja justru muncul di era Orde Baru dan kontemporer. Sentimen bahwa generasi muda yang diwakili dengan istilah remaja perlu diselamatkan akhirnya muncul.
Yudhistira (2018: 70–89) mencatat tiga wacana dari generasi tua, terutama pemerintah, terhadap generasi muda di masa Orde Baru, yakni generasi muda sebagai harapan, kecemasan terhadap generasi muda, dan generasi muda perlu diselamatkan. Remaja sebagai istilah yang lebih sering muncul (Parker dan Nilan, 2013: 39) dalam menggambarkan generasi muda akhirnya mendominasi representasi generasi muda sebagai generasi apolitis, konsumtif, dan korban dari sekularisasi dan seksualisasi Barat.
Perubahan Konteks
Kedua istilah tersebut bisa dibilang sebagai yang paling dominan muncul di berbagai teks. Namun, di luar itu, muncul pula istilah “anak muda”. Kata depan “anak” membawa implikasi lain. Indonesia didominasi dengan pandangan “kekeluargaan” atau famili-isme yang dalam analisis Shiraishi (2009) bahkan diteruskan pula dalam teks-teks buku pelajaran dan salah satunya berakar dari pendidikan Indonesia yang digagas Ki Hadjar Dewantara.
Dalam kekeluargaan, relasi antara bagian masyarakat dipandang sebagai relasi antar anggota keluarga, terutama relasi generasi muda dianggap sebagai anak dan pemerintah dianggap sebagai bapak. Tidak mengherankan dalam pandangan seperti ini, generasi muda menjadi sumber kecemasan pemerintah, seperti halnya anak menjadi sumber kecemasan seorang bapak. Namun implikasinya lebih dari itu, Bapak menjadi sumber kebenaran dan berhak menghukum anak atas kesalahan mereka (Shiraishi, 2009: 261).
Ragam konstruksi terhadap orang muda tersebut memperhatikan sekaligus mengabaikan karakteristik orang muda sebagai suatu transisi. Transisi ini jauh dari linear, melainkan penuh dengan fragmentasi (Woodman & Bennett, 2015: 1), terutama dalam konteks orang muda di Global South. Baik “pemuda”, “remaja”, maupun “anak muda” semuanya menyiratkan bahwa orang muda yang direpresentasikan dalam istilah-istilah tersebut berada dalam transisi pencarian jati dirinya, bukan hanya sebagai pribadi, tetapi juga sebagai warga negara.
Proses transisi ini yang nantinya akan menentukan, tidak hanya masa depan orang muda secara individu, tetapi nasib bangsa dan negara. Persoalannya adalah istilah ini justru menampik realitas yang dihadapi orang muda dengan melekatkan stigma-stigma tertentu untuk mempermudah idealisasi terhadap orang muda. “Pemuda” menjadi ideal, sedangkan “remaja” dianggap sebagai karakteristik yang masih harus diarahkan kepada bentuk ideal, dan “anak muda” mengingatkan secara terus menerus mengenai posisi mereka dalam “keluarga” Indonesia.
Gerakan Mahasiswa
Konteks inilah yang melahirkan konsepsi gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, agar orang muda ini tidak mengulangi kesalahan “pendahulunya” sebagai gerakan. Perlu diperhatikan bahwa “gerakan moral” ini menguat pada Angkatan 66 yang menumbangkan kediktatoran Soekarno, tetapi justru memberi jalan pada Orde Baru. Menurut Arief Budiman, karakteristik Angkatan 66 adalah “jujur, kreatif, dan nonvested-interest” (Budiman, 1967, dalam Raillon, 1989: 58). Mahasiswa sebagai kekuatan moral juga lekat dengan tidak populernya partai politik saat itu, sehingga Golongan Karya (Golkar) yang dianggap bukan partai politik, menjadi populer untuk melawan partai politik yang dianggap meneruskan kekuasaan Sukarno (Raillon, 1989). Periode ini juga penting karena menandai pergeseran dari “pemuda” ke “mahasiswa” sebagai penanggung beban moral sebagai agent of change (Aspinall, 2012).
Mahasiswa sebagai wacana agen perubahan, karena dari studi-studi tentang gerakan mahasiswa selama ini kebanyakan mengabaikan realitas transisi pemuda itu sendiri. Abednego (2022) menunjukkan dialektika antara beban moral yang ditanggung karena status sebagai mahasiswa dengan penalaran temporal yang “memaksa” mahasiswa terlibat dengan aktivisme karena status mereka sebagai mahasiswa. Penalaran temporal tersebut sangat erat berkaitan dengan fase transisi yang perlu diisi dengan hal-hal yang diarahkan untuk membentuk masa depan mereka, “to give meaning to a liminal stage in their own lives” (Lee, 2014: 145).
Hal ini yang membuat citra gerakan moral menjadi tidak relevan karena alih-alih menjelaskan karakteristik gerakan mahasiswa, mereka berusaha mengonstruksinya dengan meminggirkan realitas-realitas lainnya yang terjadi di fase transisi ini. Terlebih lagi, di Indonesia, kondisi orang muda makin rentan (Beta, 2020).
Kesimpulan
Dapat dilihat bahwa ternyata dalam perjalanannya generasi muda Indonesia tidak hanya merefleksikan realitas sosial, tetapi juga berfungsi sebagai alat ide pergerakan dan perubahan yang membentuk persepsi dan tindakan terhadap generasi muda itu sendiri. Namun, melekatkan stigma atau idealisasi tertentu pada generasi muda dapat membatasi pemahaman yang lebih komprehensif tentang peran mereka di lingkungan. Sangat penting untuk terus melihat bagaimana generasi muda memberi dampak pada perubahan dan dinamika sosial agat tidak terjebak dalam stereotip yang sempit.